Sabtu, 23 November 2013

"Karakteristik Perkembangan Anak Tunagrahita”

A.   Pengertian Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata yang ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Anak tuna grahita dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu.

B. Karakteristik Perkembangan Anak Tunagrahita

Ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita yang dapat kita pelajari, diantaranya :

a.       Keterbelakangan intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah dan situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan, mengatasi kesulitan dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tuna grahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tuna grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis, dan membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
b.      Keterbatasan sosial
Di samping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab social dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi. Cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
c.       Keterbatasan fungsi – fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk melaksanakan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal rutin yang secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu lama. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya). Karena itu mereka membutuhkan kata-kata konkrit dan sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang–ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkrit.
Selain itu anak tuna grahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dengan yang  salah. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas, sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari sesuatu perbuatan.
Dengan kata lain, perkembangan anak tunagrahita dipandang secara menyeluruh mencakup tiga aspek yaitu:

a. Perkembangan Kognitif     
                         
Perkembangan kognitif erat kaitannya dengan proses berpikir, daya ingat dan bahasa. Perkembangan kognitif anak tugrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga akan terhambat.

Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua kemampuan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Mussen, Conger, dan Kagan (1974) paling sedikit terdiri dari 5 proses yaitu persepsi, memory, kemunculan ide-ide evaluasi penalaran dan proses itu meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, symbol, konsep dan kaidah – kaidah. Kognisi adalah bidang yang luas dan beragam. Anak terbelakang menunjukkan defisit pemerolehan pengetahuan seperti yang digambarakan proses kognitif meliputi proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual akan tercermin pada proses kognitif, dikemukakan Mussen dkk (persepsi, memory, ide-ide, evaluasi, dan penalaran).

Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dapat diapahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963) menerapkan teori kejenuhan cortical  (Cortical Satiation Theory) terhadap anak tunagrahita Spitz mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel cortical (Cortical cells) anak tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik. Perubahan-perubahan temporer pada sel ortical lebih lambat kembali pada keadaan semula. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sel cortical lebih sulit.
Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh karena itu sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks.

Anak tuna grahita pada umumnya tidak bisa menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari – hari mereka lebih banyak menggunakan kalimat tunggal. Anak tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara (ekspresive auditori language). Hal terakhir dari perkembangan bahasa berkaitan dengan kemampuan bahasa yang disebut semantic. Anak – anak memperlihatkan perkembangan semantic sama seperti pada komponen lainnya. Anak terbelakang menunjukkan perkembangan semantic lebih lambat dari pada anak normal. Tetapi tidak ada bukti bahwa mereka memiliki perbedaan pola perkembangan sistaksis. Perkembangan vocabulary anak tunagrahita telah diteliti secara luas. Hasilnya menunjukkan bahwa anak tunagrahita lebih lambat dari pada anak normal dari pada kata permenit lebih banyak menggunakan kata – kata positif, lebih sering menggunakan kata – kata yang lebih umum, hampir tidak pernah menggunakan kata – kata yang lebih umum, hamper tidak pernah menggukan kata ganti, lebih sering menggunakan kata – kata bentuk tunggal, dan anak tunagrahita dapat menggunakan kata – kata bervariasi.

b. Perkembangan Fisik dan Motorik

Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita ada yang tertinggal jauh oleh anak normal. Ada pula yang sama atau hampir menyamai anak normal. Perkembangan jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal pada umumnya. Perkembangan motorik mencakup dua hal yaitu gross motor (seperti berjalan, melompat, melempar) dan fine motor (seperti menulis, menyulam, menggunting dsb) anak normal dapat mempelajari gerak-gerak jari dengan mudah, tetapi lain halnya dengan anak tunagrahita, mereka mengalami kesulitan untuk menguasainya. Banyak gerak-gerak yang kita pelajari hampir secara instingtif, harus dipelajari anak tunagrahita secara khusus.

c. Perkembangan kepribadian, emosi dan sosial  
      
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan Children’s Personality Questionare ternyata bahwa anak – anak tunagrahita mempunyai beberapa kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancaag dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan dalam hal lain anak tunagrahita sama dengan anak normal. Kekurangan – kekurangan dalam hal kepribadian akan berakibat pada proses penyesuaian diri.
Penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi, jika kebutuhannya terhalangi. Emosi – emosi yang positif adalah cinta, girang, simpatik. Emosi ini tampak pada anak tuna grahita yang masih muda terhadap peristiwa – peristiwa yang bersifat konkret, lingkungan bersifat positif terhadapnya, maka mereka akan lebih mampu menunjukkan emosi – emosi yang positif itu. Emosi – emosi yang negative adalah perasaan takut, giris, marah, dan benci. Anak terbelakang yang masih muda takut kepada hal – hal yang mengancam keselamatannya. Anak tunagrahita yang lebih tua takut terhadap hal – hal yang berkenaan dengan hubungan social.
Dalam tingkah laku social tercakup hal – hal seperti keterikatan dan ketergantrungan, hubungan kesebayaan, self concept dan tingkah laku moral. Yang dimaksud dengan tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan dan ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Seperti halnya anak normal, anak tunagrahita yang masih muda mula – mula memiliki tingkah laku keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa yang lain.
Dengan bertambahnya umur keterkaitan ini dialihkan kepada teman sebaya. Ketergantungan yang tadinya bersifat satu pihak menjadai hubungan yang timbal balik. Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang tempat bergantung, kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita lebih banyak bersifat bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh bantuan social. Dalam hubungan kesebayaan seperti halnya dengan anak kecil menolak anak yang lain, tetapi setelah bertambah umur, mereka mengadakan kontak dan melakukan kegiatan – kegiatan yang bersifat kerjasama. Berbeda dengan anak normal, anak tuna grahita jarang diterima, sering ditolak oleh kelompok serta jarang menyadari posisi diri dalam kelompok.

C. KESIMPULAN

Keterbelakangan intelegensi,  keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi fisik dan mental adalah ciri-ciri dan karakteristik utama anak tunagrahita.

Mempelajari dan memahami  karakteristik anak tunagrahita merupakan hal yang sangat penting karena hal itu dapat membantu dan memudahkan kita khususnya lembaga pendidikan dalam menentukan layanan pendidikan yang tepat  bagi anak yang terkategori sebagai anak tunagrahita.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber/Source








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...