A. Pengertian Anak
Tunagrahita
Anak
tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata yang
ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi
sosial. Anak tuna grahita dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena
keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah
biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan
pelayanan pendidikan secara khusus, yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
B. Karakteristik
Perkembangan Anak Tunagrahita
Ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita yang
dapat kita pelajari, diantaranya :
a. Keterbelakangan intelegensi
Intelegensi
merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
mempelajari informasi dan ketrampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah
dan situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir
abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan, mengatasi
kesulitan dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tuna grahita
memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tuna
grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis, dan
membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau
cenderung belajar dengan membeo.
b. Keterbatasan sosial
Di
samping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki
kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka
memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih
muda dari usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu
memikul tanggung jawab social dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu
dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi. Cenderung melakukan
sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
c. Keterbatasan fungsi – fungsi mental lainnya
Anak
tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk melaksanakan reaksi pada situasi
yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal
rutin yang secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita
tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu lama.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya
mengalami kerusakan artikulasi akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan
kata yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya). Karena itu mereka membutuhkan
kata-kata konkrit dan sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan
harus ditunjukkan secara berulang–ulang. Latihan-latihan sederhana seperti
mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan
terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkrit.
Selain
itu anak tuna grahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan
antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dengan
yang salah. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas, sehingga
anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari
sesuatu perbuatan.
Dengan
kata lain, perkembangan anak tunagrahita dipandang secara menyeluruh mencakup
tiga aspek yaitu:
a. Perkembangan Kognitif
Perkembangan
kognitif erat kaitannya dengan proses berpikir, daya ingat dan bahasa.
Perkembangan kognitif anak tugrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan
bahasanya juga akan terhambat.
Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang
luas yang meliputi semua kemampuan akademik yang berhubungan dengan wilayah
persepsi. Mussen, Conger, dan Kagan (1974) paling sedikit terdiri dari 5 proses
yaitu persepsi, memory, kemunculan ide-ide evaluasi penalaran dan proses itu
meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, symbol, konsep dan kaidah –
kaidah. Kognisi adalah bidang yang luas dan beragam. Anak terbelakang
menunjukkan defisit pemerolehan pengetahuan seperti yang digambarakan proses
kognitif meliputi proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan dan
dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual akan tercermin
pada proses kognitif, dikemukakan Mussen dkk (persepsi, memory, ide-ide,
evaluasi, dan penalaran).
Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita
pada ingatan jangka pendek dapat diapahami dengan pendekatan konsep
neuro-biologis. Spitz (1963) menerapkan teori kejenuhan cortical (Cortical Satiation Theory) terhadap
anak tunagrahita Spitz mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel cortical (Cortical
cells) anak tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan
perubahan fisik. Perubahan-perubahan temporer pada sel ortical lebih lambat
kembali pada keadaan semula. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sel cortical
lebih sulit.
Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita
mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh
karena itu sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks.
Anak
tuna grahita pada umumnya tidak bisa menggunakan kalimat majemuk, dalam
percakapan sehari – hari mereka lebih banyak menggunakan kalimat tunggal. Anak
tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan
ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam perkembangan
bicara (ekspresive auditori language). Hal terakhir dari perkembangan bahasa
berkaitan dengan kemampuan bahasa yang disebut semantic. Anak – anak
memperlihatkan perkembangan semantic sama seperti pada komponen lainnya. Anak
terbelakang menunjukkan perkembangan semantic lebih lambat dari pada anak
normal. Tetapi tidak ada bukti bahwa mereka memiliki perbedaan pola
perkembangan sistaksis. Perkembangan vocabulary anak tunagrahita telah diteliti
secara luas. Hasilnya menunjukkan bahwa anak tunagrahita lebih lambat dari pada
anak normal dari pada kata permenit lebih banyak menggunakan kata – kata
positif, lebih sering menggunakan kata – kata yang lebih umum, hampir tidak
pernah menggunakan kata – kata yang lebih umum, hamper tidak pernah menggukan
kata ganti, lebih sering menggunakan kata – kata bentuk tunggal, dan anak
tunagrahita dapat menggunakan kata – kata bervariasi.
b.
Perkembangan Fisik dan Motorik
Fungsi-fungsi
perkembangan anak tunagrahita ada yang tertinggal jauh oleh anak normal. Ada pula
yang sama atau hampir menyamai anak normal. Perkembangan jasmani dan motorik
anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal pada umumnya. Perkembangan
motorik mencakup dua hal yaitu gross motor (seperti berjalan, melompat,
melempar) dan fine motor (seperti menulis, menyulam, menggunting dsb) anak
normal dapat mempelajari gerak-gerak jari dengan mudah, tetapi lain halnya
dengan anak tunagrahita, mereka mengalami kesulitan untuk menguasainya. Banyak
gerak-gerak yang kita pelajari hampir secara instingtif, harus dipelajari anak
tunagrahita secara khusus.
c. Perkembangan kepribadian, emosi dan sosial
Dari
penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan Children’s
Personality Questionare ternyata bahwa anak – anak tunagrahita mempunyai
beberapa kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak
matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya,
impulsif, lancaag dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi,
kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar
ketentuan dalam hal lain anak tunagrahita sama dengan anak normal. Kekurangan –
kekurangan dalam hal kepribadian akan berakibat pada proses penyesuaian diri.
Penyesuaian
diri merupakan proses psikologis yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai
situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi,
jika kebutuhannya terhalangi. Emosi – emosi yang positif adalah cinta, girang,
simpatik. Emosi ini tampak pada anak tuna grahita yang masih muda terhadap
peristiwa – peristiwa yang bersifat konkret, lingkungan bersifat positif
terhadapnya, maka mereka akan lebih mampu menunjukkan emosi – emosi yang
positif itu. Emosi – emosi yang negative adalah perasaan takut, giris, marah,
dan benci. Anak terbelakang yang masih muda takut kepada hal – hal yang
mengancam keselamatannya. Anak tunagrahita yang lebih tua takut terhadap hal –
hal yang berkenaan dengan hubungan social.
Dalam
tingkah laku social tercakup hal – hal seperti keterikatan dan ketergantrungan,
hubungan kesebayaan, self concept dan tingkah laku moral. Yang dimaksud dengan
tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang
dewasa (orang lain). Masalah keterikatan dan ketergantungan anak terbelakang
telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Seperti halnya
anak normal, anak tunagrahita yang masih muda mula – mula memiliki tingkah laku
keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa yang lain.
Dengan
bertambahnya umur keterkaitan ini dialihkan kepada teman sebaya. Ketergantungan
yang tadinya bersifat satu pihak menjadai hubungan yang timbal balik. Ketika
anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang tempat bergantung,
kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak
tunagrahita lebih banyak bersifat bergantung pada orang lain, dan kurang
terpengaruh oleh bantuan social. Dalam hubungan kesebayaan seperti halnya
dengan anak kecil menolak anak yang lain, tetapi setelah bertambah umur, mereka
mengadakan kontak dan melakukan kegiatan – kegiatan yang bersifat kerjasama.
Berbeda dengan anak normal, anak tuna grahita jarang diterima, sering ditolak
oleh kelompok serta jarang menyadari posisi diri dalam kelompok.
C.
KESIMPULAN
Keterbelakangan
intelegensi, keterbatasan sosial dan
keterbatasan fungsi-fungsi fisik dan mental adalah ciri-ciri dan karakteristik
utama anak tunagrahita.
Mempelajari dan
memahami karakteristik anak tunagrahita
merupakan hal yang sangat penting karena hal itu dapat membantu dan memudahkan kita khususnya lembaga
pendidikan dalam menentukan layanan pendidikan yang tepat bagi anak yang terkategori sebagai anak
tunagrahita.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Sumber/Source
Tidak ada komentar:
Posting Komentar