Kucoba lagi mengakrabkan diri dengan tuts-tuts netbook yg selama ini mulai terasa jauh dari jari jemariku. Berdamai dengan perasaan yang selalu berbisik bahwa menulis dengan keyboard itu tak pernah se-asyik menulis dengan pena. Ah sudahlah nikmati saja, toh bukan dengan apa aku menuliskannya tapi apa yang aku tulislah yang harusnya kutemukan sensasinya....
Dan kali ini tentang perasaanku..
Berangkat ke tempat ku mengajar
pukul 17.15 sore tadi, kupacu kendaraanku secepat kubisa. Berharap dapat
mengejar waktu yang tak pernah bisa kudahului. Bukannya lancar, tapi perjalanan
malah penuh onak dan duri, macet disana-sini, berusaha menyalip kenndaraan dan
mencari jalan pintas, didepanku selalu saja ada yg menghalangi, dan yang paling
menyebalkan adalah saat tiba dilampu merah, dimana kendaraan tumpah ruah
tumplek memadati jalan raya, malang melintang tak beraturan, ironisnya lampu
merah seakan kehilangan tugasnya. Bagaimana tidak, jelas sekali lampu itu
berkali-kali berwarna merah menyala, tapi tetap saja kendaraan yg seharusnya berhenti
justru malah berlomba2 merangsek masuk menyerobot jalan yang sejatinya milik
para pengendara dari arah berlawanan . termasuk aku. Berkali-kali lampu berganti warna
hijau tapi sebanyak itu pula kami tidak mendapatkan giliran melaju. Ah menyebalkan
sekali menyaksikannya, seolah dinegara kita ini sudah tak ada lagi warga negara terutama pengguna jalan yang ikhlash menghargai tata tertib dan patuh pada peraturan lalu lintas, dan pelanggaran itu dilakukan oleh mereka yang mungkin sudah
kehabisan stock kesabaran, hingga tak memperdulikan hak-hak pengendara lainnya.
Kucoba tetap tenang dan bersabar, hingga akhirnya jantungku dikagetkan oleh iring2an
kendaraan yg tiba-tiba menambah padatnya kerumunan, sebuah kendaraan dengan
bunyi sirine yang meraung-raung menjerit-jerit meminta akses agar diberi
kesempatan jalan duluan, "innalillahi wa inna ilaihi roojiuun", pawai duka ini
membuatku tertegun, oh tuhan, suatu saat nanti, bisa jadi aku yg berada di
mobil ambulance itu, dengan teriakan sirine yg mungkin lebih memilukan. Sudahlah ini hanya intermezzo dari apa yg
sebenarnya ingin kuceritakan...
Dan ini intinya...
Rasanya legaaaaa sekali malam
ini, setelah dua hari kemarin aku sempat digelung oleh perasaan resah yg memberatkan
nafasku, atas keputusanku menyita dua buah handphone (samsung Android dan Blackberry) milik muridku yg kuanggap
melanggar peraturan, adalah Afnan Asykar dan Hanan Amira Alamudy yang mereka menggunakan handphone tersebut ndiwaktu belajar. Meskipun
mereka menyangkal dan protes keras dengan mengungkapkan alasan bahwa mereka
menggunakan hape itu diluar jam pelajaran, bukan saat kegiatan KBM berlangsung
dan sama sekali tidak mengganggu kegiatan belajar maupun penyampaian materi.
Memang sudah menjadi peraturan yg
telah disepakati bersama bahwa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung,
maka tidak ada satupun yg diizinkan menggunakan gadget apapun untuk kepentingan
pribadi yang tidak ada hubungannya dengan materi pembelajaran, handphone
khususnya. Dan sejauh ini sudah dua orang dari muridku yg tertangkap tangan
sedang menggunakan handphone disaat jam belajar, dan sesuai peraturan, sudah
kusita pula hapenya selama seminggu hingga akhirnya ku kembalikan dalam keadaan
utuh, tak kurang satu huruf pun.
Sebagai seorang guru yg diantara tugasnya adalah mendidik, sebisa mungkin aku selalu berusaha menjadi bijak,
sebijak-bijaknya. Apapun peraturan yang kutegakkan, maka sekuat hati takkan
pernah aku sampai hati untuk melanggar. Aku selalu mencoba konsekwen pada
komitmen yang telah disepakati bersama, apapun resikonya. Makanya ketika
muridku bilang “ibu juga kemaren maen hape, saya liat ibu maen hape pas magrib
kalo nggak salah” hatiku terhenyak dan pipiku terasa perih ditampar. Aku berusaha
mengingat, kapan tepatnya aku melakukan apa yg mereka tuduhkan itu? bagaimana aku bisa melupakan hal yang memalukan itu dihadapan mereka?
#kemudian berpikir keras
Tak kutemukkan ingatan yg hilang
itu. Sebuah kalimat meluncur dari mulutku “selama ini ibu tidak merasa pernah
melakukan pelanggaran itu, kalaupun kalian pernah melihat ibu memegang hape,
mungkin itu hanya untuk melihat jam” berat sekali rasanya mengucapkan kata-kata
itu. Bukan karna saat itu aku sedang berbohong, tp karna aku takut mereka benar
dengan apa yg mereka lihat itu. Oh tuhan, benarkah aku telah melakukan
pelanggaran itu? Sehari sebelum muridku melakukan hal yang sama? bagaimana aku bisa lupa? bagaimana mungkin?
Selesailah pembelajaran
dihari itu. Aku pulang tanpa perasaan lega sama sekali, yang ada dihatiku hanya
sejuput pertanyaan yang terus kusodor-sodorkan pada ingatanku....
Singkat cerita akhirnya
handphoneku memberikan jawaban, bahwa memang benar adanya kalau aku menggunakan
hape dan disaksikan oleh muridku itu, namun ternyata aku berkirim pesan dengan
sahabatku via sms itu bukanlah disaat jam belajar, melainkan beberapa puluh
menit sebelum kegiatan KBM dimulai, jadi itu bukan merupakan bentuk pelanggaran
seperti yang disangkakan oleh muridku itu, dan itupun sekali-kalinya setelah
peraturan itu disepakati. Biasanya walaupun bukan ditengah kegiatan KBM, sebisa
mungkin aku akan menahan tanganku untuk tidak menyentuh benda kotak bernama
handphone.
Setelah kuanggap hapeku mempunyai
cukup bukti yang benar untuk membantah apa yang dikatakan muridku, maka rasanya
tak sabar lagi aku ingin mengkonfirmasikan hal ini dihadapan muridku semua,
sebagai klarifikasi dan penjelasan bahwa mereka tidak sedang ku dzolimi, tidak
sedang kucurangi. Dan aku tidak sedang melakukan ketidak adilan. Sebagai seorang
guru, tidak seharusnya aku membuat muridku menganggap bahwa proses pendidikan
ini tidak adil karna peraturan dan punishment hanya berlaku bagi murid, tapi
hukum itu kebal bagi guru, tidak nak, sama sekali tidak, ibu tidak pernah ingin
semua itu terjadi. Mungkin ibu belum bisa dibilang guru yang terbaik buat
kalian, tapi ibu akan terus berusaha menjadikan kalian yang terbaik.
Dan akhirnya waktu yang
ditunggu-tunggu pun tiba, setelah dua hari dua malam lamanya dua buah hape itu
menginap dilemariku, maka sore tadi kubawa barang-barang itu dalam gendongan
tasku, alasannya, karna sms-sms yg masuk ke handphone ku ini
Nmr baru : “ibu, kata Afnan besok
orangtuanya mau dateng, mau ngambil hp, soalnya orangtuanya sama Afnan butuh hp
itu”
Aku : ini siapa?
Nmr itu : ini nomer Hilwa yg baru
(Hilwa adalah salah satu muridku juga, saudaranya Hanan yang hapenya kusita”
Saya: “kalo ibu kasih hapenya
besok berarti ibu nggak adil dong, yang
lain ibu sita hapenya seminggu full, masa Afnan Cuma dua hari? Ibu bisa
diprotes sama yang lain lah, dianggapnya curang. Jadi kita main sportif aja
lah!
Nmr Hilwa yg padahal Hanan yang
lagi pake : tapi kan saya sama Afnan maennya bukan saat pelajaran, kalo yang
laen kan maennya saat jam pelajaran *Hanan*
Saya: “itu sama aja jam pelajaran
sayaaaaaaaang, kan batasnya antara dua do’a. Sebelum dan sesudahnya boleh. Ibu juga
kermaren itu bukan hape, seperti yg kamu lihat, tapi itu terjadi jam 18.10, sebelum mulai do’a pembukan,
jadi diluar jam pelajaran. Hayoooooo, kan ibu sudah bilang, kalo diluar jam
pelajaran mah silahkan aja, asal di silent jadi tidak sampai mengganggu suara
hapenya, itu diperbolehkan, tidak dilarang, ibu izinkan!!
Bukannya bu tega atau kejam nan,
ibu Cuma baerusaha berlaku adil dan sportif,
teguh pada komitmen, jadi mohon pengertiannya, posisi ibu disini guru,
gak bisa seenaknya ngambil keputusan, Ibu mohon kerjasamanya, ibu tau kalian
pasti bisa memahami keadaan ini.
Hanan : tapi kan bu si Fitri
sering maen hp tp ga diambil, bagian saya langsung diambil, sumpah bu saya
janji gak akan ngulangin lagi, tolong ya bu, saya udah dua kali gak dapet nilai
sekolah padahal saya udah kelas 9 dan sebentar lagi UN, trus saya juga kemaren
itu Cuma ngeliat sms dr kaka saya nyuruh beli susu ke Indomaret, bukan “iseng”
maen hape kayak si Ntri”
Saya : besok ibu bicarakan dulu
didepan anak-anak semua, ibu anggap ini kesalahfahaman tentang kapan batas
boleh atau tidaknya menggunakan hape, si ntri juga mungkin mainnya diluar jam
pelajaran, atau saat itu belom disepakati batas bolehnya menggunakan hape, jadi
akan ibu atur ulang dan ibu umumkan kembali peraturannya yang benar seperti
apa. Dan kalau yang lain ikhlash dan setuju dikembalikan, maka akan ibu
kembalikan, gimana??
*hening tidak ada jawaban.
Dan ending ceritanya adalah
akhirnya saya bicarakan semua kesalah-pengertian ini dihadapan semua
murid-muridku, dan keputusan akhirnya adalah mereka dengan ikhlash sepakat
mengizinkan hape itu dikembalikan karna dianggap itu merupakan kesalah-fahaman,
bukan atas dasar kesengajaan, dengan catatan, mereka berjanji tidak akan pernah
lagi kejadian serupa seperti ini terulang kembali. dan yang paling melegakan adalah
bahwa aku sudah menyampaikan dengan sejujurnya bahwa yg mereka anggap itu
sebuah pelanggaran yang kulakukan ternyata adalah juga sebuah kesalah-dugaan. Ah
lega rasanya, dadaku terasa lapang, nafasku ringan tanpa beban. Karna yang penting
adalah “jangan sampai mereka beranggapan bahwa aku adalah guru yang tidak konsekwen
dan bertindak seenaknya, padahal selama ini mereka cukup tahu bahwa aku adalah
sosok guru yang tidak pernah ingkar janji dan bermain sportif dengan peraturan”
(karna jika tidak, maka itu akan jadi masalah, dan membuat mereka berpikir
bahwa mereka telah didzolimi dan diperlakukan secara tidak adil). Do’aku semoga
aku bisa terus berusaha menjadi teladan yang baik bagi mereka. Aamiiiiiin
Alhamdulillah, semoga ini keputusan terbaik yang
ku ambil, demi lancarnya kegiatan dan proses belajar mengajar. Terimakasih untuk mau
dan bisa memahami, semoga kita semua dapat memetik dengan anggun segala hikmah yang
ada dibalik semua kejadian ini, dan berkali-kali akan selalu kuingatkan diriku pada kalimat ini:
”DON'T BE A TEACHER UNLESS YOU HAVE LOVE TO SHARE"!!
# and I do love all of my
students.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar